Oleh: Zacky Antony
PERS nasional berduka. Salah satu wartawan senior, sahabat sekaligus guru, Margiono, menghembuskan nafas terakhir Selasa (1/2) pukul 09.45 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Margiono yang sering disapa MG meninggal dalam usia 62 tahun. Dia kelahiran 31 Desember 1960.
Sebelum kabar duka ini datang, saya mengetahui update terakhir tentang MG dari tulisan Dahlan Iskan berjudul “Bambang Margiono.” Di tulisan itu, DI bercerita MG terpapar covid dan harus dirawat di rumah sakit. MG juga menderita gula darah sejak lama. Orang komorbid (penyakit bawaan) tertular covid, berarti cukup rawan. Ah… siapa sangka beberapa hari kemudian beliau meninggal.
Saya mengenal MG sejak menjadi ketua PWI Provinsi Bengkulu. Tahun 2015 lalu. Sebelum itu saya hanya tahu nama dan cuma mendengar cerita tentang sepak terjangnya ketika memimpin redaksi. Judul-judul berita Rakyat Merdeka yang tidak biasa, tajam tapi jenaka adalah khas MG. Berani dan mengejutkan. Itulah tipikal berita Rakyat Merdeka yang diketahui publik. Saking seringnya berita-berita Rakyat Merdeka diperkarakan secara hukum, Pengadilan seolah bukan sesuatu yang menakutkan. Sudah jadi rumus baku; menjadi Pemred Rakyat Merdeka harus siap masuk penjara.
Judul headline Rakyat Merdeka “Mulut Mega Bau Solar,” yang terbit saat Megawati berkuasa, contohnya, dinilai sangat berani dan berisiko. Begitu pula saat MG menerbitkan cover majalah D&R yang bergambar Presiden Soeharto berpakaian raja dalam Kartu King. Kalau cover seperti itu terbit di saat zaman kebebasan seperti sekarang, tidak pula begitu aneh. Tapi cover sindiran itu terbit saat Soeharto berkuasa dan orde baru sedang represif terhadap media. Hasilnya sudah bisa ditebak; majalah itu dibredel.
MG juga sangat piawai berpidato. Sama hebat dengan Ketua Umum PWI pusat sebelumnya, Tarman Azzam yang juga jago berpidato. Setiap kali puncak acara HPN, orang selalu menunggu-nunggu pidato MG. Pidatonya yang masih saya ingat sampai sekarang ketika HPN tahun 2016 di Lombok. MG waktu itu menyentil reshuffle kabinet. Presiden Jokowi sering menjawab nggak mikir kalau ditanya wartawan.
“Nggak mikir saja lima menteri kena reshuffle. Apalagi mikir,” kata MG disambut gelak tawa tamu undangan termasuk Presiden Jokowi sendiri tidak bisa menahan tawa. Karena di barisan tamu ada Menteri Puan Maharani, MG buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Kecuali mbak Puan,” katanya kembali disambut geerrrr undangan.
Pertemuan pertama terjadi saat almarhum melantik kami pengurus PWI Provinsi Bengkulu periode 2015 – 2020 di Bengkulu. Saat itu MG didampingi Ketua Bidang Daerah PWI Pusat Atal S Depari. Pagi itu, dia satu pesawat dengan Mendagri Tjahjo Kumolo dalam penerbangan dari Jakarta ke Bengkulu.
Cerita MG kepada kami, ketika tiba di Bandara Fatmawati, Mendagri mengajak satu mobil saja. Tapi MG menolak dengan alasan tujuannya berbeda. Saat mengirim SMS, saya memang tidak memberitahu MG bahwa kami juga mengundang Mendagri hadir pada acara pelantikan pengurus PWI. Karena itu, dia kaget ketika Mendagri menyusul datang ke lokasi acara pelantikan pengurus PWI Bengkulu di ruang Pola Bappeda Provinsi. Sebelumnya Mendagri menghadiri acara Pemprov di lokasi berbeda.
“Kamu nggak bilang Mendagri akan hadir ke sini. Tadi kami satu pesawat. Dia juga ngajak satu mobil saja (dari Bandara). Saya bilang tujuan kita berbeda pak menteri. Nggak tahu kalau beliau ke sini juga,” ujar MG ketika itu.
Kehadiran MG dan kedatangan Mendagri Tjahjo Kumolo pada acara pelantikan pengurus PWI Provinsi Bengkulu hari itu memang terasa spesial. Karena termasuk jarang, pelantikan PWI di daerah dihadiri menteri. “Ini jarang loh, Mendagri hadir di acara pelantikan pengurus PWI,” kata MG ketika itu.
Saya merasa banyak mendapat pelajaran ketika usai pelantikan, kami mengajak MG, bang Atal makan siang di RM Marola Pantai Panjang. Dari ngobrol-ngobrol sekitar 2 jam —beliau pulang pesawat sore— MG bercerita banyak tentang perjalanannya menjadi wartawan. Saya didampingi beberapa pengurus PWI dan panitia.
Sejak dari wartawan, MG mengaku memang tidak suka banyak ngomong. Dalam sebuah acara pelatihan, dia menyebut, sepanjang acara dia tidak pernah ngomong satu patah katapun. Tapi dia menjadi yang terbaik dalam pelatihan tersebut. Tipikalnya itu disukai pak Dahlan Iskan. Lebih banyak bekerja, daripada bicara. Dia kemudian menjadi Pemred Jawa Pos dan memimpin Rakyat Merdeka.
Dia juga bercerita soal demokrasi di Indonesia yang rumit. Di mata MG, cara mengelola Negara secara umum hanya ada dua. Mau mudah atau rumit. Kalau mau mudah, ya harus otoriter. Kalau mau rumit, pilih demokrasi. Jadi kerumitan demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini, merupakan konsekuensi dari pilihan demokrasi itu sendiri. Menurutnya kalau tidak mau rumit, pilih otoriter seperti orde baru.
Selalu Bersahaja
Kenangan kedua yang cukup berkesan bersama MG adalah saat beliau bersedia datang langsung ke Arga Makmur, Bengkulu Utara untuk menghadiri acara pelantikan pengurus PWI Kabupaten Bengkulu Utara serta puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Provinsi pada 31 Maret 2017.
Jujur saya awalnya tidak begitu yakin MG akan datang ke Arga Makmur. Saya sudah berpikir beliau akan diwakili Ketua Bidang Organisasi. Saya kaget ketika datang pesan SMS dari sekretarisnya: Pak MG akan ke Bengkulu. Panitia sedikit kalang kabut. Termasuk mencari mobil untuk menjemput yang akhirnya menggunakan mobil Alphard milik bos Rakyat Bengkulu Grup, pak Muslimin.
Ketika menjemput di Bandara Fatmawati saat hari sudah mulai gelap, beliau ternyata datang sendirian. Tanpa pendamping. Sangat bersahaja. Selama dalam perjalanan dari Bengkulu ke Arga Makmur, dia banyak bertanya tentang prospek media di daerah. Ketika itu (2017), serbuan media online sudah mulai ramai di Bengkulu. Dia bercerita, sempat buat investasi bikin gedung bertingkat. Perencanaannya, lantai 1, 2, 3 dst untuk perkantoran. “Tapi sekarang orang tidak butuh lagi kantor yang luas, yang penting koneksinya bisa ke mana-mana. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur,” katanya sambil tersenyum.
Saat mau menghadiri jamuan makan malam di Rumdin Bupati Bengkulu Utara Ir. Mian, MG hanya pakai kemeja biasa lengan pendek. Kemeja itu masih dipakainya lagi ketika puncak acara HPN keesokan harinya yang dihadiri Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti. Rupanya baju batik yang dibawa terdapat bolong saat disetrika. Baru ketahuan ketika ingin dipakai pagi hari itu. Panitia tidak sempat lagi ingin mencari baju batik lain pagi itu.
Datang khusus Konkernas
Kenangan yang ketiga bersama MG adalah ketika Bengkulu menjadi tuan rumah acara Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PWI di Hotel Santika. Kali ini dia memang sengaja datang untuk Bengkulu. Datang siang. Sore pulang. MG tidak sempat datang acara pembukaan Konkernas malam harinya di Gedung Daerah.
Mendarat sekitar pukul 10.00 WIB di Bandara Fatmawati. MG sudah harus kembali ke Jakarta sekitar pukul 16.00 WIB. “Saya sudah niatkan datang Konkernas di Bengkulu,” katanya saat dijemput di Bandara.
Belajar dari kejadian di Arga Makmur, kali ini panitia sudah menyiapkan seragam Konkernas ukuran XXXL untuk MG. Maklum, badan MG paling besar diantara yang lain. MG ganti baju di dalam mobil. Dia cerita, pukul 03.00 WIB semalam, dia masih dalam perjalanan darat dari Tulungagung ke Surabaya. “Mengejar pesawat paginya untuk ke Bengkulu,” katanya sambil ganti baju.
Sebagai “anak buah”, setiap kali acara-acara PWI saya selalu menyempatkan diri menyalami beliau dan ngobrol singkat. Utamanya setiap peringatan HPN. Ketika HPN di Surabaya tahun 2019, saya sempat menyerahkan buku saya berjudul “Pers, Demokrasi dan Negara Hukum,” kepada Mg. Dia mengucapkan selamat dan terima kasih. Dari tegur-sapa, ngobrol dan mendampingi beliau dalam beberapa kesempatan, saya berkesimpulan MG adalah sosok wartawan yang bersahaja, peduli kepada anak buah, berani tapi tetap rendah hati. Selamat jalan MG. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu