Sidakpost.co.id-Ada 2 kubu yang bertentangan karena merasa tidak terakomodir sebuah gagasannya dan tidak diikut sertakan dalam kegiatan HPN, kubu satu nya karena memiliki power dan Network jadi merekalah yang memiliki kuasa dalam sebuah Komunitas, petaruangan dua kubu ini menjadi sebuah dilema bagi para media yang masih berdarah2 dalam membangun perusahaan nya disisi lain mereka sedang sibuk mempertahankan dapur redaksi dan perusahan nya, disisi lain aturan yg sangat ketat dan berbiaya tinggi terus disuarakan.
Mendirikan media dan mempekerjakan watawan yang belum professional itu bukanlah tindakan kriminal yang harus diberantas. Yang layak diberantas itu adalah praktek monopoli belanja iklan. Karena itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selama ini media lokal tidak kebagian belanja iklan. Semua dikuasai oleh media besar berskala nasional. Namun Dewan Pers,PWI,AJi dan organisasi lain nya tak bersuara dengan jeritan media arus bawa.
Saya sendirin sangat memahami kondisi sulit kawan2 media lain untuk bisa terus berjalan apalagi khusus nya kawan-kawan media cetak yang saat ini kesulitan untuk menutupi biaya kost produksi yang dari waktu ke waktu terus meningkat disisi lain pihak-pihak tertentu terus menekan aturan -aturan baru yang tidak pro dengan kondisi media kecil.
Kalau aturan media besar dan media kecil itu sama auto media besar sangat mudah untuk mengikuti nya tapi untuk media kecil yang minim SDM dan Minim Anggaran automatis akan sulit mengibangi nya. Saya sudah 6 tahun terakhir ini mengikuti regulasi yang dibuat dewan pers dan insya allah 90% kami sudah siap dan itu bukan hal yang mudah untuk dituruti butuh pemikiran dan exstra kerja keras.
Belum lagi kita dihadapkan dengan rebutan belanja Iklan di Pemerintah daerah yang semakin hari semakin tidak adil, aturan yang diminta sama tapi nilai anggaran nya dibeda -bedakan antara media satu dan yang lain. Belum lagi zaman now ini mediapun kenak palak oleh beberapa oknum pegawai/pejabat daerah yang minta jatah 15%-20 % dari nilai iklan heran nya mayoritas media menurutin kemauan mereka dengan dalih kalau nggak mau yah sudah tidak usah ada kerjasama.
Kalau media saat ini untuk hidup semakin sulit wajar saja banyak media yang netralitas nya diragukan,
Berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bahwa belanja iklan media di Indonesia sepanjang tahun 2012 mencapai angka Rp 107 triliun. Dan pada Tahun 2013 menyentuh Rp147 triliun. Sedangkan tahun 2014 belanja iklan melonjak sampai Rp155 triliun. Kemudian menurun pada 2015 sebesar Rp118 triliun.
Sementara perusahaan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2016 mencatat belanja iklan di televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun
sekedar mengingatkan dan bertanya pada Dewan Pers: Mengapa reuni akbar 212 tahun lalu tak diliput oleh mayoritas pers nasional? Mengapa Dewan Pers tak bertanya atau melakukan investigasi? Jangan lupa, itu adalah peristiwa sangat besar bahkan menjadi yang terbesar dalam sejarah dunia.
Benar, setiap pers (media) punya kebijakan masing-masing. Tapi, ketika ada peristiwa besar di Jakarta, kok tidak disampaikan ke publik? Tak heran jika Rocky Gerung dan Effendi Gazali menyebut sebagai penggelapan sejarah, lha, kok Dewan Pers diam saja.
Kami sebagai media kecil menjadi dilema kemana arah pers indonesia dizaman demokrasi ini. Ingat !! Rezim akan silih berganti jangan menjadi penyesalan karena kepentingan sesaat kita akan menyesal dikemudian hari. Jayalah pers indonesia jadi pers pemersatu bangsa pers independen dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Redaksi www.sidakpost.co.id